Kamis, 31 Maret 2016

SUKUN; Green Belt Garis Pantai



DALAM satu dekade terakhir, terutama setelah bencana Tsunami melanda Aceh, trendkegiatan penanaman Bakau (Mangrove) terjadi dimana-mana dengan tujuan utama menahan abrasi pantai. Kegiatan ini memunculkan banyak nilai positifnya terutama bertambahnya jumlah orang yang peduli dengan lingkungan. Sejumlah organisasi dan lembaga berlomba-lomba menanam Bakau di pinggir pantai dengan berbagai bentuk aksi yang kerap muncul di media yang terkadang lebih memunculkan nilai pencitraannya dibandingkan dengan misi konservasi lingkungan.

Dalam tulisan ini penulis ingin mempertanyakan beberapa hal terkait dengan banyaknya organisasi atau kelompok masyarakat yang memilih Mangrove sebagai pilihan utama dalam menahan abrasi pantai. Pertama, mampukah Mangrove menahan abrasi pantai? Kedua, bagaimana sejarah mangrove itu sendiri? Ketiga, benarkah kekuatan gelombang yang menyebabkan abrasi pantai?

Mari kita tinjau lebih jauh untuk kemudian mempertimbangkan kembali melakukan langkah-langkah strategis dalam menyelamatkan abrasi pantai kita. Banyak pihak menganggap bahwa Mangrove pada dasarnya tumbuh sudah dipinggir pantai dan berfungsi sebagai pemecah ombak yang dampaknya pantai terhindar dari abrasi. Atau asumsinya Mangrove justru tadinya tumbuh didarat, kemudian abrasi pantai terjadi lalu menyeret bakau menjadi tanaman pinggir laut didaerah pasang surut pantai. Atau kemungkinan satu lagi Bakau tumbuh dipinggir pantai, lalu menahan lumpur, lama kelamaan bakau menjadi tanaman darat. Asumsi ini menarik untuk kita telusuri lagi.

Dalam amatan penulis pada pembibitan Bakau, faktanya dari kecambah hingga mencapai ketinggian 50 cm, bibit Bakau hanya membtuhkan waktu yang relatif sangat singkat beberapa bulan saja. Namun ketika bibit ini dipindahkan dan ditanam dipinggir laut, untuk mendapatkan pertumbuhan beberapa cm saja, Bakau butuh waktu bertahun tahun. Bahkan sering lebih dulu tenggelam, sebelum sempat tumbuh sempurna. Karena itulah sebagian besar rehabilitasi Mangrove gagal total. Ternyata abrasi pantai terjadi lebih cepat dari pertumbuhan Mangrove. Inilah yang sering terjadi dimana dari satu juta bibit Bakau yang tersisa hanya beberapa saja. Kondisi ini jelas terlihat hampir seluruh garis pantai.

Dari sekian banyak argumentasi yang mengemuka perihal Bakau ini, faktanya menunjukkan bahwa awalnya bakau adalah tanaman darat, yang lama kelamaan terseret jadi tanaman pinggir pantai. Disinilah terjadi proses adaptasinya dimana Bakau kemudian meninggikan akar napasnya. Bakau yang tumbuh didarat tidak punya akar napas yang meninggi seperti ketika bakau sudah terseret kepantai. Ketika sudah terseret ke pantai, barulah akar napas bakau secara perlahan semakin tinggi dan lumpur lumpur laut banyak tertahan disekitar akar napas karena pasang surut air laut. Jadi sejarah Mangrove bukanlah dari pantai menjadi daratan, tetapi dari tanaman darat, terseret kelaut karena abrasi pantai.
Kalau Mangrove adalah tanaman pantai yang kemudian menahan banyak lumpur, lalu berubah menjadi tanaman darat, maka mengapa kita tidak pernah menemukan Mangrove yang tumbuh didarat punya akar napas yang tinggi. Faktanya di daratan, Bakau tumbuh jauh lebih cepat dari pada dipinggir pantai. Ini menunjukkan bukti bahwa bakau aslinya adalah tanaman darat yang beradaptasi menjadi tanaman pasang surut dengan meninggikan akar napasnya. Jadi Bakau tidak mampu menahan abrasi pantai, justru Bakau adalah korban abrasi pantai !!!

Kenapa abrasi pantai terjadi? Pemanasan Global telah menaikkan suhu permukaan bumi beberapa derajat celsius, sehingga terjadi kenaikan permukaan air laut. Kenaikan permukaan air laut telah menyebabkan pasang naik semakin jauh masuk kedaratan. Hal inilah yang menyebabkan bakau yang tadinya ada didarat terseret oleh abrasi pantai kepinggir laut.

Pemicu kedua abrasi pantai adalah turunnya permukaan garis pantai karena devisit air tawar disekitar garis pantai, hal disebabkan exploitasi air tawar didarat yang begitu besar. Exploitasi air tawar yang sangat besar didarat, baik karena pemukiman (properti) maupun industri, telah menyedot air tanah dalam jumlah sangat besar, sehingga deposit air dari resapan air hujan menjadi devisit. Devisit air tanah menyebabkan tekanan air dalam tanah ke permukaan menjadi berkurang, sehingga permukaan tanah menurun, termasuk digaris pantai.

Turunnya tekanan air tanah juga menyebabkan terjadinya infiltrasi (peresapan) air laut. Infiltrasi air laut merusak struktur tanah, terjadi pemadatan tanah ke bawah, sehingga permukaan tanah termasuk pinggir pantai semakin turun. Inilah pemicu abrasi pantai yang massif. Nyatanya dosa perilaku manusia yang telah memicu Global Warming. Dosa manusia yang terlalu banyak mengexploitasi air tanah yang tidak diimbangi dengan upaya meningkatkan resapan air ke dalam tanah, dosa industri dan pemukiman adalah semakin tak terbantahkan. Jadi reklamasi Mangrove adalah sesuatu yang sia sia.

Apa ada langkah yang realistis? Pasti ada tentunya, kearifan lokal suku Bugis di Kepulauan pulau pulau kecil di Sulawesi Selatan adalah menanam Sukun. Sebenarnya mereka tidak sengaja menanam sukun. Tetapi buah sukun adalah pangan alternatif di pulau pulau kecil suku Bugis. Kehadiran sukun di pulau pulau kecil yang tadinya seluruh air tanahnya asin ini, berubah drastis setelah banyak sukun tumbuh dan berusia 5 tahun. Sukun tahan dengan infiltrasi air laut dan cepat tumbuh dipinggir pantai. Sukun dapat mendeposit air banyak sekali. Setiap pohon sukun dapat menyimpan tidak kurang dari 500 m³ air.

Kehadiran sukun yang mampu mendeposit air tawar sangat besar ini telah meningkatkan tekanan bawah tanah, dan membuat struktur tanah terbentuk dan menjadi kuat. Tanah secara bertahap menjadi permukaannya lebih tinggi, dan permukaan tanah yang lebih tinggi ini dapat mengimbangi laju kenaikan permukaan air laut karena pemanasan global. Jadi membuat Green Belt (jalur hijau) disekitar garis pantai dengan mananam sukun adalah solusi terbaik untuk menghambat abrasi pantai. Bukan dengan jalan merehabilitasi Mangrove.

Sukun adalah tanaman pangan alternative bergizi tinggi. Punya nilai ekologis mendeposit air yang luar biasa banyak. Sektor Industri dan Properti punya tanggung jawab untuk ikut membuat Green Belt sukun disekitar garis pantai. Jika gerakan ini massif dilakukan dari sekarang, barulah garis pantai kita akan selamat dari abrasi dalam jangka panjang. Aceh mari berbenah untuk menyelamatkan garis pantai kita yang sangat panjang (2.666,27 Km), semoga pengetahuan ini bisa digunakan oleh banyak kalangan yang cinta terhadap pelestarian lingkungan terutama garis pantai. Sungguh tiada ciptaan Allah yang sia sia, mengapa kita tidak berpikir?


Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar