DALAM
satu dekade terakhir, terutama setelah bencana Tsunami melanda Aceh, trendkegiatan
penanaman Bakau (Mangrove) terjadi
dimana-mana dengan tujuan utama menahan abrasi pantai. Kegiatan ini memunculkan
banyak nilai positifnya terutama bertambahnya jumlah orang yang peduli dengan
lingkungan. Sejumlah organisasi dan lembaga berlomba-lomba menanam Bakau di
pinggir pantai dengan berbagai bentuk aksi yang kerap muncul di media yang
terkadang lebih memunculkan nilai pencitraannya dibandingkan dengan misi
konservasi lingkungan.
Dalam
tulisan ini penulis ingin mempertanyakan beberapa hal terkait dengan banyaknya
organisasi atau kelompok masyarakat yang memilih Mangrove sebagai pilihan utama dalam menahan abrasi pantai.
Pertama, mampukah Mangrove menahan
abrasi pantai? Kedua, bagaimana sejarah mangrove itu sendiri? Ketiga, benarkah
kekuatan gelombang yang menyebabkan abrasi pantai?
Mari
kita tinjau lebih jauh untuk kemudian mempertimbangkan kembali melakukan
langkah-langkah strategis dalam menyelamatkan abrasi pantai kita. Banyak pihak
menganggap bahwa Mangrove pada
dasarnya tumbuh sudah dipinggir pantai dan berfungsi sebagai pemecah ombak yang
dampaknya pantai terhindar dari abrasi. Atau asumsinya Mangrove justru tadinya tumbuh didarat, kemudian abrasi pantai
terjadi lalu menyeret bakau menjadi tanaman pinggir laut didaerah pasang surut
pantai. Atau kemungkinan satu lagi Bakau tumbuh dipinggir pantai, lalu menahan
lumpur, lama kelamaan bakau menjadi tanaman darat. Asumsi ini menarik untuk
kita telusuri lagi.
Dalam
amatan penulis pada pembibitan Bakau, faktanya dari kecambah hingga mencapai
ketinggian 50 cm, bibit Bakau hanya membtuhkan waktu yang relatif sangat
singkat beberapa bulan saja. Namun ketika bibit ini dipindahkan dan ditanam
dipinggir laut, untuk mendapatkan pertumbuhan beberapa cm saja, Bakau butuh
waktu bertahun tahun. Bahkan sering lebih dulu tenggelam, sebelum sempat tumbuh
sempurna. Karena itulah sebagian besar rehabilitasi Mangrove gagal total. Ternyata abrasi pantai terjadi lebih cepat
dari pertumbuhan Mangrove. Inilah yang sering terjadi dimana dari satu juta
bibit Bakau yang tersisa hanya beberapa saja. Kondisi ini jelas terlihat hampir
seluruh garis pantai.
Dari
sekian banyak argumentasi yang mengemuka perihal Bakau ini, faktanya
menunjukkan bahwa awalnya bakau adalah tanaman darat, yang lama kelamaan
terseret jadi tanaman pinggir pantai. Disinilah terjadi proses adaptasinya
dimana Bakau kemudian meninggikan akar napasnya. Bakau yang tumbuh didarat
tidak punya akar napas yang meninggi seperti ketika bakau sudah terseret
kepantai. Ketika sudah terseret ke pantai, barulah akar napas bakau secara
perlahan semakin tinggi dan lumpur lumpur laut banyak tertahan disekitar akar
napas karena pasang surut air laut. Jadi sejarah Mangrove bukanlah dari pantai menjadi daratan, tetapi dari tanaman
darat, terseret kelaut karena abrasi pantai.
Kalau
Mangrove adalah tanaman pantai yang kemudian menahan banyak lumpur, lalu berubah
menjadi tanaman darat, maka mengapa kita tidak pernah menemukan Mangrove yang tumbuh didarat punya akar
napas yang tinggi. Faktanya di daratan, Bakau tumbuh jauh lebih cepat dari pada
dipinggir pantai. Ini menunjukkan bukti bahwa bakau aslinya adalah tanaman
darat yang beradaptasi menjadi tanaman pasang surut dengan meninggikan akar
napasnya. Jadi Bakau tidak mampu menahan abrasi pantai, justru Bakau adalah
korban abrasi pantai !!!
Kenapa
abrasi pantai terjadi? Pemanasan Global telah menaikkan suhu permukaan bumi
beberapa derajat celsius, sehingga terjadi kenaikan permukaan air laut.
Kenaikan permukaan air laut telah menyebabkan pasang naik semakin jauh masuk
kedaratan. Hal inilah yang menyebabkan bakau yang tadinya ada didarat terseret
oleh abrasi pantai kepinggir laut.
Pemicu
kedua abrasi pantai adalah turunnya permukaan garis pantai karena devisit air
tawar disekitar garis pantai, hal disebabkan exploitasi air tawar didarat yang
begitu besar. Exploitasi air tawar yang sangat besar didarat, baik karena pemukiman
(properti) maupun industri, telah menyedot air tanah dalam jumlah sangat besar,
sehingga deposit air dari resapan air hujan menjadi devisit. Devisit air tanah
menyebabkan tekanan air dalam tanah ke permukaan menjadi berkurang, sehingga
permukaan tanah menurun, termasuk digaris pantai.
Turunnya
tekanan air tanah juga menyebabkan terjadinya infiltrasi (peresapan) air laut.
Infiltrasi air laut merusak struktur tanah, terjadi pemadatan tanah ke bawah,
sehingga permukaan tanah termasuk pinggir pantai semakin turun. Inilah pemicu
abrasi pantai yang massif. Nyatanya dosa perilaku manusia yang telah memicu
Global Warming. Dosa manusia yang terlalu banyak mengexploitasi air tanah yang
tidak diimbangi dengan upaya meningkatkan resapan air ke dalam tanah, dosa
industri dan pemukiman adalah semakin tak terbantahkan. Jadi reklamasi Mangrove
adalah sesuatu yang sia sia.
Apa
ada langkah yang realistis? Pasti ada tentunya, kearifan lokal suku Bugis di
Kepulauan pulau pulau kecil di Sulawesi Selatan adalah menanam Sukun.
Sebenarnya mereka tidak sengaja menanam sukun. Tetapi buah sukun adalah pangan
alternatif di pulau pulau kecil suku Bugis. Kehadiran sukun di pulau pulau
kecil yang tadinya seluruh air tanahnya asin ini, berubah drastis setelah
banyak sukun tumbuh dan berusia 5 tahun. Sukun tahan dengan infiltrasi air laut
dan cepat tumbuh dipinggir pantai. Sukun dapat mendeposit air banyak sekali.
Setiap pohon sukun dapat menyimpan tidak kurang dari 500 m³ air.
Kehadiran
sukun yang mampu mendeposit air tawar sangat besar ini telah meningkatkan
tekanan bawah tanah, dan membuat struktur tanah terbentuk dan menjadi kuat.
Tanah secara bertahap menjadi permukaannya lebih tinggi, dan permukaan tanah
yang lebih tinggi ini dapat mengimbangi laju kenaikan permukaan air laut karena
pemanasan global. Jadi membuat Green Belt (jalur hijau) disekitar garis pantai
dengan mananam sukun adalah solusi terbaik untuk menghambat abrasi pantai.
Bukan dengan jalan merehabilitasi Mangrove.
Sukun
adalah tanaman pangan alternative bergizi tinggi. Punya nilai ekologis
mendeposit air yang luar biasa banyak. Sektor Industri dan Properti punya
tanggung jawab untuk ikut membuat Green Belt sukun disekitar
garis pantai. Jika gerakan ini massif dilakukan dari sekarang, barulah garis
pantai kita akan selamat dari abrasi dalam jangka panjang. Aceh mari berbenah
untuk menyelamatkan garis pantai kita yang sangat panjang (2.666,27 Km), semoga
pengetahuan ini bisa digunakan oleh banyak kalangan yang cinta terhadap
pelestarian lingkungan terutama garis pantai. Sungguh tiada ciptaan Allah yang
sia sia, mengapa kita tidak berpikir?
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar