Kelahiran penyanyi baru yang kini digandrungi publik, Bergek alias Zuhdi cukup fenomenal di dunia seni Aceh. Banyak publik memutar lagunya seperti Boeh Hate, Suet Bajee Jih Bloe, 360, Aneuk Dadu, dll dan menghapal liriknya. Kedai kopi, radio publik, kenderaan umum, dan telpon genggam terus memutar musiknya.
Orang bisa saja mengkritik Bergek
tidak orisinal. Namun, dalam dunia seni pop apa yang patut dikatakan orisinal?
Kritik karena ia menyadur lagu-lagu India? Dimana salahnya? Hampir semua
penyanyi pop Aceh menyadur lagu-lagu dari film India yang digandrungi publik,
tapi tak ada yang sepopular Bergek.
Dalam karya pop, pasti terjadi
kemiripan dan inspirasi atas karya-karya yang lebih dulu nge-pop, mainstream,
dan kanonik. Lihat saja Koes Plus yang dianggap “meniru” The Beatles, God Bless
“menjiplak” Genesis, Power Metal mirip dengan Helloween dan Judas Priest.
Bahkan musisi paling sukses dekade 90-an hingga 2000-an, Ahmad Dhani, tak
kurang kontroversi karena pernah “memplagiasi” karya musisi asing seperti
Portishead dan Muse.
Belum lagi penyanyi-penyanyi baru
yang sedang mencari panggung dan karakter, pasti juga terpaksa lebih dulu
berkiblat kepada musisi senior yang telah punya pasar. Mereka bukan pembebek
sempurna. Dengan proses belajar terus-menerus, mencari hal-hal detil, dan
meramunya secara total menjadikan mereka patron baru di dunia musik Indonesia
bahkan internasional.
Ikon Baru
Demikian pula Bergek. Tepikan
dulu kontroversi subjektif kepadanya. Nyatanya ia ikon baru di dunia musik Aceh
yang sedang lesu darah. Yang dilakukan Bergek bahkan tidak bisa dikatakan
plagiator. Ia memiliki talenta untuk memberikan komposisi, ornamensi, dan
organologi dalam bermusik. Karakter musikalitasnya juga khas.
Keunikan itulah yang menyebabkan
Bergek menjadi disukai publik. CDnya laris manis (kita sudah meninggalkan dunia
kaset di industri musik). MP3, 3GP, MP4, FLV-nya diunduh ribuan banyaknya,
termasuk oleh peminat di luar Aceh. Lagu Dikit-dikit dan Aneuk Dadu
yang dinyanyikannya lebih berkarakter, menghibur, dan jenaka dibandingkan versi
aslinya. Satu hal, Bergek terampil mencampur-sarikan Bahasa Aceh dan Bahasa
Indonesia di dalam lirik-lirik lagunya. Itu orisinil dia.
Dalam kajian budaya, yang
dilakukan Bergek disebut mimicry: sebuah upaya peniruan tapi tidak
persis sama. Ia tidak tumplek-plek seperti dosen yang memplagiasi karya
koleganya tanpa berkeringat dan menggunakan teknik copy and paste.
Tujuannya juga rendahan: demi urusan naik pangkat atawa cum.
Menurut Jacques Lacan, filsuf
dekonstruksionis Perancis, mimicry ala Bergek terjadi karena alas
permadani berkarya masih diselubungi oleh watak kolonialitas dan modernitas
(kuno). Dalam produksi karya, seni pop sesungguhnya hadir dari meniru,
terpesona, dan termotivasi atas sesuatu yang sebelumnya ada untuk kemudian
diperbaharui.
Transisi dari dunia seni tradisi
ke modern menyebabkan gangguan itu terjadi. Tradisi lama belum jauh
ditinggalkan sedangkan di seberang sana modernitas masih ragu-ragu dijamah.
Dalam bahasa Homi K. Bhaba, Bergek sedang berupaya meraih pengakuan atas
karyanya – yang lepas dari bayang-bayang penyanyi Bollywood atau siapa
pun - karena ia memang berbeda. Kalaupun dia mau disamakan, ia tidak sungguh
persis (the desire for a reformed, recognizable Other, as a subject of a
difference that is almost the same, but not quite, Homi K. Bhaba, The
Location of Culture, 1994 : 86).
Demikianlah, fenomena Bergek ini
telah menjadi dunia pop baru di Aceh sekaligus merebut industri musik lokal.
Kita boleh saja mengamini yang dikatakan oleh Gianni Vattimo – bahwa fenomena
popisme ini tak lain wujud kematian atau kemunduran seni (the death or
decline of art) karena selera yang tercurah hanya untuk mencerap indera
massal atau kerumunan, yang mungkin berbeda dengan selera kritikus, musisi,
atau etnomusikolog.
Namun lagi-lagi, siapa peduli? Di
tengah kesumpekan politik dan impitan ekonomi, kehadiran Bergek menjadi setitik
kegembiraan. Mungkin kegembiraan itu pun tidak bertahan lama, hanya lima belas
menit atau satu jam, dan setelah itu pulang ke rumah. Sosok Bergek mungkin
bertahun-tahun sejak sekarang akan dilupakan karena muncul sosok-sosok baru
dengan imajinasi dan artistika baru.
Sebagian orang setelah menonton
Bergek bisa jadi membawa kesegaran jiwa dari pengalaman menikmati musik
pertunjukan itu. Kita tak tahu akan berdampak positif seperti apa. Itu pula
kenapa di setiap pertunjukan Bergek, tumpah-ruah publik yang menonton. Sebagian
datang bersama anak-istri menyaksikan “anak ajaib” ini.
“Agama” vs Seni
Agak aneh akhirnya jika seni
pertunjukan Bergek dihalau dengan cara-cara purba dan kolonial: melarang
pementasannya secara sepihak seperti di Aceh Barat (Serambi, 31 Maret)
dan Lhokseumawe (Serambi, 8 April) dengan argumentasi melanggar Syariat
Islam.
Problem ini akhirnya bukan semata
sukses mematikan Bergek, tapi bisa merembet kepada dimensi kepurbaan lain lagi,
yaitu melarang semua pementasan kesenian dan hanya membolehkan yang sesuai
dengan cita-rasa feodal. Padahal, dalam kacamata industri, pelarangan ini bisa
juga terlihat ingin mematikan industri musik sekitar Bergek, karena dampaknya
mulai mengancam “industri penguasa”. Jadi semacam pertarungan politik ekonomi
rakyat versus penguasa.
Pembenturan agama versus kesenian
dengan cara-cara politis seperti ini, bukan saja bernasib buruk pada kesenian –
terutama seni pertunjukan – tapi juga kepada wajah agama Islam. Agama diseret
kepada pemahaman yang pejoratif, sempit dan rendahan, yang muaranya bisa
distortif melihat seni. Seni bisa saja dituduh lubang kejahatan dan akan
menjahati masyarakat. Pemberitaan tentang kasus Bergek ini di media luar telah
memberikan citra buruk kepada pemerintah di Aceh yang seharusnya memilih
cara-cara responsif. Pemberitaan di luar telah melebar, seperti menggali
ideologi “politik Taliban atau Wahabiyah” di Aceh yang ditunjukkan dari rekaman
pemerintah Kota Banda Aceh yang melarang perayaan tahun baru (The Jakarta
Post, 6 April).
Padahal, Aceh baru saja merintis
pendidikan dan aktualisasi seni melalui pendirian Institut Seni dan Budaya
Indonesia (ISBI) Aceh yang diidamkan oleh pemangku kepentingan di Aceh selama
puluhan tahun. Tujuan hadirnya ISBI pun bukan sekedar merevitalisasi kesenian
tradisi tapi juga melakukan perjumpaan secara sehat dan cerdas dengan seni
modern, termasuk seni avant-garde atau seni posmo. Siapa tahu energi
pengetahuan seni itu akan membuat Aceh lebih beradab, cerdas otak kanannya, dan
halus timbangan estetisnya.

--o0o--
Ini merupakan tulisan Teuku Kemal Fasya yang di posting pada akun facebook nya dan pernah dimuat di media Serambi Indonesia, 11 April 2016. Semoga bermanfaat dan membuka cakrawala berpikir kita serta menambah wawasan tentang seni dan kehidupannya di Tanah Seuramoe Mekkah ini.
Teuku Kemal Fasya, dosen ISBI
Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar