Rabu, 13 April 2016

Fenomena Bergek dan Kematian Seni Pertunjukan



Kelahiran penyanyi baru yang kini digandrungi publik, Bergek alias Zuhdi cukup fenomenal di dunia seni Aceh. Banyak publik memutar lagunya seperti Boeh Hate, Suet Bajee Jih Bloe, 360, Aneuk Dadu, dll dan menghapal liriknya. Kedai kopi, radio publik, kenderaan umum, dan telpon genggam terus memutar musiknya.

Orang bisa saja mengkritik Bergek tidak orisinal. Namun, dalam dunia seni pop apa yang patut dikatakan orisinal? Kritik karena ia menyadur lagu-lagu India? Dimana salahnya? Hampir semua penyanyi pop Aceh menyadur lagu-lagu dari film India yang digandrungi publik, tapi tak ada yang sepopular Bergek.

Dalam karya pop, pasti terjadi kemiripan dan inspirasi atas karya-karya yang lebih dulu nge-pop, mainstream, dan kanonik. Lihat saja Koes Plus yang dianggap “meniru” The Beatles, God Bless “menjiplak” Genesis, Power Metal mirip dengan Helloween dan Judas Priest. Bahkan musisi paling sukses dekade 90-an hingga 2000-an, Ahmad Dhani, tak kurang kontroversi karena pernah “memplagiasi” karya musisi asing seperti Portishead dan Muse.

Belum lagi penyanyi-penyanyi baru yang sedang mencari panggung dan karakter, pasti juga terpaksa lebih dulu berkiblat kepada musisi senior yang telah punya pasar. Mereka bukan pembebek sempurna. Dengan proses belajar terus-menerus, mencari hal-hal detil, dan meramunya secara total menjadikan mereka patron baru di dunia musik Indonesia bahkan internasional.

Ikon Baru
Demikian pula Bergek. Tepikan dulu kontroversi subjektif kepadanya. Nyatanya ia ikon baru di dunia musik Aceh yang sedang lesu darah. Yang dilakukan Bergek bahkan tidak bisa dikatakan plagiator. Ia memiliki talenta untuk memberikan komposisi, ornamensi, dan organologi dalam bermusik. Karakter musikalitasnya juga khas.

Keunikan itulah yang menyebabkan Bergek menjadi disukai publik. CDnya laris manis (kita sudah meninggalkan dunia kaset di industri musik). MP3, 3GP, MP4, FLV-nya diunduh ribuan banyaknya, termasuk oleh peminat di luar Aceh. Lagu Dikit-dikit dan Aneuk Dadu yang dinyanyikannya lebih berkarakter, menghibur, dan jenaka dibandingkan versi aslinya. Satu hal, Bergek terampil mencampur-sarikan Bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia di dalam lirik-lirik lagunya. Itu orisinil dia.

Dalam kajian budaya, yang dilakukan Bergek disebut mimicry: sebuah upaya peniruan tapi tidak persis sama. Ia tidak tumplek-plek seperti dosen yang memplagiasi karya koleganya tanpa berkeringat dan menggunakan teknik copy and paste. Tujuannya juga rendahan: demi urusan naik pangkat atawa cum.

Menurut Jacques Lacan, filsuf dekonstruksionis Perancis, mimicry ala Bergek terjadi karena alas permadani berkarya masih diselubungi oleh watak kolonialitas dan modernitas (kuno). Dalam produksi karya, seni pop sesungguhnya hadir dari meniru, terpesona, dan termotivasi atas sesuatu yang sebelumnya ada untuk kemudian diperbaharui.

Transisi dari dunia seni tradisi ke modern menyebabkan gangguan itu terjadi. Tradisi lama belum jauh ditinggalkan sedangkan di seberang sana modernitas masih ragu-ragu dijamah. Dalam bahasa Homi K. Bhaba, Bergek sedang berupaya meraih pengakuan atas karyanya – yang lepas dari bayang-bayang penyanyi Bollywood atau siapa pun - karena ia memang berbeda. Kalaupun dia mau disamakan, ia tidak sungguh persis (the desire for a reformed, recognizable Other, as a subject of a difference that is almost the same, but not quite, Homi K. Bhaba, The Location of Culture, 1994 : 86).

Demikianlah, fenomena Bergek ini telah menjadi dunia pop baru di Aceh sekaligus merebut industri musik lokal. Kita boleh saja mengamini yang dikatakan oleh Gianni Vattimo – bahwa fenomena popisme ini tak lain wujud kematian atau kemunduran seni (the death or decline of art) karena selera yang tercurah hanya untuk mencerap indera massal atau kerumunan, yang mungkin berbeda dengan selera kritikus, musisi, atau etnomusikolog.

Namun lagi-lagi, siapa peduli? Di tengah kesumpekan politik dan impitan ekonomi, kehadiran Bergek menjadi setitik kegembiraan. Mungkin kegembiraan itu pun tidak bertahan lama, hanya lima belas menit atau satu jam, dan setelah itu pulang ke rumah. Sosok Bergek mungkin bertahun-tahun sejak sekarang akan dilupakan karena muncul sosok-sosok baru dengan imajinasi dan artistika baru.

Sebagian orang setelah menonton Bergek bisa jadi membawa kesegaran jiwa dari pengalaman menikmati musik pertunjukan itu. Kita tak tahu akan berdampak positif seperti apa. Itu pula kenapa di setiap pertunjukan Bergek, tumpah-ruah publik yang menonton. Sebagian datang bersama anak-istri menyaksikan “anak ajaib” ini.

“Agama” vs Seni
Agak aneh akhirnya jika seni pertunjukan Bergek dihalau dengan cara-cara purba dan kolonial: melarang pementasannya secara sepihak seperti di Aceh Barat (Serambi, 31 Maret) dan Lhokseumawe (Serambi, 8 April) dengan argumentasi melanggar Syariat Islam.

Problem ini akhirnya bukan semata sukses mematikan Bergek, tapi bisa merembet kepada dimensi kepurbaan lain lagi, yaitu melarang semua pementasan kesenian dan hanya membolehkan yang sesuai dengan cita-rasa feodal. Padahal, dalam kacamata industri, pelarangan ini bisa juga terlihat ingin mematikan industri musik sekitar Bergek, karena dampaknya mulai mengancam “industri penguasa”. Jadi semacam pertarungan politik ekonomi rakyat versus penguasa.

Pembenturan agama versus kesenian dengan cara-cara politis seperti ini, bukan saja bernasib buruk pada kesenian – terutama seni pertunjukan – tapi juga kepada wajah agama Islam. Agama diseret kepada pemahaman yang pejoratif, sempit dan rendahan, yang muaranya bisa distortif melihat seni. Seni bisa saja dituduh lubang kejahatan dan akan menjahati masyarakat. Pemberitaan tentang kasus Bergek ini di media luar telah memberikan citra buruk kepada pemerintah di Aceh yang seharusnya memilih cara-cara responsif. Pemberitaan di luar telah melebar, seperti menggali ideologi “politik Taliban atau Wahabiyah” di Aceh yang ditunjukkan dari rekaman pemerintah Kota Banda Aceh yang melarang perayaan tahun baru (The Jakarta Post, 6 April).

Padahal, Aceh baru saja merintis pendidikan dan aktualisasi seni melalui pendirian Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh yang diidamkan oleh pemangku kepentingan di Aceh selama puluhan tahun. Tujuan hadirnya ISBI pun bukan sekedar merevitalisasi kesenian tradisi tapi juga melakukan perjumpaan secara sehat dan cerdas dengan seni modern, termasuk seni avant-garde atau seni posmo. Siapa tahu energi pengetahuan seni itu akan membuat Aceh lebih beradab, cerdas otak kanannya, dan halus timbangan estetisnya.


Sudah saatnya kita memilih cara-cara berkelas menyelesaikan problem kesenian dan kebudayaan. Cara yang paling baik adalah dialog dan mencari konsensus secara demokratis. Tidak perlu mengambil cara-cara arogan dan represif. Bergek Phobia adalah hantu yang terlalu dibuat-buat. Yang perlu ditakutkan adalah merebaknya terorisme, narkoba, pedofilia, penghancuran ekologi, korupsi, dan politik tanpa nurani.

--o0o--

Ini merupakan tulisan Teuku Kemal Fasya yang di posting pada akun facebook nya dan pernah dimuat di media Serambi Indonesia, 11 April 2016. Semoga bermanfaat dan membuka cakrawala berpikir kita serta menambah wawasan tentang seni dan kehidupannya di Tanah Seuramoe Mekkah ini.

Teuku Kemal Fasya, dosen ISBI Aceh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar