ISLAM adalah agama yang
ajarannya bersifat universal yang diperuntukkan kepada seluruh umat manusia.
Sebetulnya kalau kita merujuk kepada kitab suci Alquran dan berbagai kitab suci
lainnya, tampak jelas bahwa bencana alam dan krisis lingkungan telah
lama disinyalir dalam Alquran, sebagaimana firman Allah Swt: “Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh karena perbuatan tangan manusia
sehingga akibatnya Allah mencicipkan kepada mereka sebagian dari perbuatan
mereka agar mereka kembali.” (QS. Ar-Rum: 41).
Ayat tersebut secara
eksplisit menegaskan bahwa kerusakan disebabkan oleh ulah tangan manusia
sendiri. Bencana yang datang silih berganti mengiringi kerusakan alam. Dalam
Tafsir al-Misbah, Qurasih Shihab menjelaskan bahwa terjadinya kerusakan
merupakan akibat dari dosa dan pelanggaran yang dilakukan oleh manusia sehingga
mengakibatkan gangguan keseimbangan di darat dan di laut. Sebaliknya ketiadaan
keseimbangan ini, megakibatkan siksaan kepada manusia. Semakin besar kerusakan
terjadi terhadap lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya terhadap
manusia.
Para penafsir klasik
semisal Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir) dan al-Qurthubi (al-Jami’uliah Kamil
Quran). Ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
kerusakan (fasad) adalah perbuatan syirik, pembunuhan, maksiat, dan segala
pelanggaran terhadap larangan Allah Swt. Pandangan kedua mufassir ini berbeda
dengan penafsiran Quraish Shihab, tidak melihat makna fasad sebagai kerusakan
alam yang akan menimbulkan penderitaan bagi manusia.
Hal ini bisa dipahami
karena pada zaman mereka alam masih asri dan tidak terjadi kerusakan alam yang
parah seperti saat ini. Jika kedua ulama tersebut hidup di zaman sekarang,
tentu mereka akan menafsirkan ayat tersebut senada dengan Quraish Shihab, orang
pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar Doktor dalam bidang tafsir Alquran.
Bermakna lingkungan
Kata al-bi’ah terulang dalam Alquran sebanyak 15 kali, meskipun mempunyai arti
lain seperti berulangkali, memancing, mengundang, dan berkonotasi “pulang
kembali”. Kata al-bi’ah yang bermakna lingkungan terdapat
dalam Alquran (QS. Ali Imram: 21; QS. Al-A’raf: 74); QS. Yunus: 93; QS. Yusuf:
56; QS. An-Nahl: 41; dan QS. Al-Ankabut: 58). Ayat-ayat tersebut dalam Alquran,
berkonotasi pada lingkungan yang terbatas pada manusia.
Allah Swt menciptkan alam
semesta ini untuk memenuhi kebutuhan manusia, sebagaimana firman-Nya: “Dan Dia
menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Al-Jatsiyah: 13).
Ayat di atas menjadi
landasan teologis pembenaran pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA)
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Meskipun Islam tidak
melarang memanfaatkan alam, Islam menetapkan rule of game-nya. Islam memerintahkan
pemanfaatan alam dengan cara yang baik dan menjadi manusia yang bertanggung
jawab dalam melindungi alam dan lingkungannya,
serta larangan merusaknya.
Menurut Quraish Shihab,
etika pengelolaan lingkungan dalam Islam mencari
keselarasan dengan alam sehingga manusia tidak hanya memikirkan kepentingan
dirinya sendiri, tapi menjaga lingkungan dari
kerusakan. Setiap kerusakan lingkungan harus
dilihat sebagai perusakan terhadap diri sendiri. Pandangan ini berbeda dengan
sebagian teknokrat yang memandang alam sebagai alat untuk mencapai tujuan
konsumtif.
Tuntunan moral Islam dalam
mengelola alam adalah larangan serakah dan menyia-nyiakannya. Allah Swt
berfirman: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).
Larangan berlebihan dalam
ayat diatas mencakup segala sesuatu, termasuk memanfaatka alam. Alam
dimanfaatkan seperlunya saja. Karena itu, eksploitasi besar - besaran
mengakibatkan rusaknya habitat alam. Islam memandang
pemanfaatan alam tanpa secara membabi-buta merupakan suatu bentuk kezaliman dan
akan merugikan manusia sendiri. Berlebih-lebihan dalam pemanfaatan alam
dipanadang suatu perilaku mubazir dan dicela oleh Islam.
Menjaga Alam
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, penamaan surat-surat dalam Alquran dengan mengambil
nama hewan, seperti al-Baqarah (Sapi), al-An’am (Binatang ternak), al-‘Adiyat
(Kuda), an-Nahl (Semut), dan al-‘Ankabut (Laba-laba); Nama tumbuh-tumbuhan
seperti at-Tin (pohon Tin), dan pertambangan misalnya al-Hadid (Besi), atau
nama alam lainnya seperti al-Fajri (waktu Fajar), adz-Dzariyat (Angin yang
menerbangkan), dan asy-Syams (Matahari), dan sebagainya adalah isyarat agar
manusia sadar bahwa dirinya terikat dengan alam sekitarnya. Sehingga manusia
tidak lalai menjalankan kewajibannya menjaga kelestarian alam.
Betapa besarnya perhatian Islam terhadap
alam, sebuah hadis meyatakan, “Barangsiapa memotong pohon bidara, niscaya Allah
akan mencelupkan kepalanya ke dalam api neraka.” (HR. Abu Daud). Sebagian ulama
fiqih memahami hadis ini sebagai larangan menebang pohon bidara di sekitar kota
Mekkah dan Madinah. Tapi menurut Yusuf Qaradhawi, kalimat tersebut ditafsirkan
sesuai dengan teks lahirnya yang mengandung makna umum. Sehingga dengan
demikian akan diperoleh suatu kesimpulan, bahwa Islam melarang
menebang pepohonan secara sia-sia.
Pentingya memelihara alam,
tercermin dalam pidato Abu Bakar ra di depan angkatan perang kaum Muslimin saat
akan berangakat untuk menggempur raja Ghassani yang telah memerintahkan
pembunuhan atas utusan Nabi Muhammad saw di masa-masa akhir hidupnya. Abu Bakar
dalam pidatonya melarang pembunuhan terhadap anak-anak dan orang tua, merusak
dan membakar pohon kurma, dan menebang pohon-pohon yang berbuah.
Dalam beberapa Allah
menyatakan bahwa seluruh langit dan bumi serta makhluk di dalamnya bertasbih
memuji Allah Swt, seperti terungkap dalam Alquran (QS. An-Nur: 41; QS Al-Hadid:
1; QS. Shaad: 18). Manusia harus senantiasa menghormati alam kareana ia adalah
makhluk Allahyang senantiasa bertasbih kepada-Nya.
Manusia harus mengiringi
alam bertasbih memuji Allah Swt, antara lain memelihara kelestarian alam dan
mengarahkannya ke arah yang lebih baik (islah), dan bukannya melakukan
kerusakan di bumi (fasad fil ardl). Islam membolehkan
pengelolaan bumi dan pemanfaatannya dengan tetap menjaga kelestarian dan
keberlangsungannya.
Ditulis oleh:
Zulfajri, SHI.,
Pengurus Lembaga Bantuan Hukum dan Advokat BKPRMI Banda Aceh.
Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh.
Email: fajriyusfa@gmail.com
Pengurus Lembaga Bantuan Hukum dan Advokat BKPRMI Banda Aceh.
Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh.
Email: fajriyusfa@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar