![]() |
“Hai Teungku Ampon, nyoepat Si Gam lon neuboh keu Raja. Seubab Si Gam lon rupa that ceudah, lagi ngon gagah meubulee mata. Mata jih bulat babah meukuweit, cukop meusaheet Si Gam keu Raja.”
UNGKAPAN
di atas merupakan cuplikan dari bait Hikayat Jampoek. Sebuah hikayat yang
memiliki filosofi moral tinggi dan holistik (mendalam) bagi manusia dalam
memilih pemimpin. Jampoek (burung hantu) menjadi pemeran antagonis dalam
hikayat tersebut. Jampoek diidentikkan dengan kesombongan dan memuja diri.
Sehingga kata jampoek ini sering menjadi ungkapan bagi masyarakat dalam
menyindir manusia sombong dan suka pamer kelebihan, seperti; Bek lagee jampoek
atau beuk peujampoek droe, bermaksud jangan sombong atau suka pamer.
Sikap
sombong dan memuja diri (pujoe droe) jampoek tersirat dalam hikayat tersebut,
ketika Nabi Sulaiman as bermusyawarah dengan seluruh burung (cicem) untuk
menentukan raja mereka. Jampoek dengan sigap mengajukan anak laki-lakinya untuk
menjadi raja, sambil memamerkan ketampanan fisik anaknya, yakni; rupa that
ceudah, lagi ngon gagah meubule mata, mata bulat babah meukuweit (ganteng,
gagah, memiliki bulu mata indah, mata bulat dengan paruh bengkok ke
bawah/menarik).
Namun
demikian, seluruh burung yang lain menolak tawaran jampoek untuk menjadikan
anaknya sebagai raja, karena hanya “menjual” ketampanan fisik, bukan keahlian,
kompetensi, integritas, kemampuan memimpin (leadership) dan komunikatif. Di
antara yang menolak dengan tegas adalah Beurujuk balee dan Tok-tok beuraghoe.
Keduanya protes; Teuma ji seuot Beurujuk balee, han kutem dikee jampouk keu raja.
Hana meusoe-soe ka tajak lakee, golom meuteuntee tajak peutaba. Lheuh nyan ji
seuot Tok-tok beuragoe, hana meusoe-soe taboh keu raja. Seudangkan dilon kupiah
beusoe, hantom siuroe lakee keu raja.
Di
samping itu, muncul Buroeng keutoek-toek mengajukan diri untuk di angkat
sebagai raja, karena dia menganggap dirinya memiliki keahlian untuk memimpin,
yaitu keahlian bernyanyi di malam hari (peeh geundrang). Berbeda dengan jampoek
yang hanya “menjual” ketampanan fisik, Buroeng keutoek-toek “menjual” keahlian.
Sehingga Buroeng keutoek-toek mendapatkan dukungan dari beberapa burung yang
lain seperti Eunggang (Bangau).
Perdebatan Burung
Perdebatan para burung tersebut membuat Nabi Sulaiman as tersenyum bahagia.
Namun tiba-tiba cicem Keudidi dengan bijak mendamaikan perdebatan para burung
tersebut dengan memberikan jabatan/pimpinan sesuai dengan keahlian mereka,
bukan hanya karena ketampanan fisik.
"Teuma jidamee uleh Keudidi, si Rajawali
tabouh keu raja. Cicem Dama peudana meuntri, beurujuk Campli keupala teuntra. Lheuk
bangguna taboh keu meuntri, keupala negeri nyoe cicem Dama. Kleung puteh ulee
keupala peulisi, si Mirapati jeut keu wedana. Keu peuneurangan po cicem Tiong,
nyang mat hukom po cicem Pala. Tok-tok beuragoe keu geuchiek gampong, cicem
Keucuboung keu ureung ronda. Cicem bubruk keuma bidan, seubab digobnyan
geukuwa-kuwa, dum cicem laen duk keu rakyat."
Itulah
cuplikan pemilihan raja cicem yang diselenggarakan oleh Nabi Sulaiman as
bersama seluruh burung ketika itu yang dinukil dalam Hikayat Jampoek. Hikayat
tersebut sangat cocok dipublikasi kembali dalam konteks Aceh yang sedang marak
dengan isu suksesi kepemimpinan atau Pilkada 2017. Sebagai masyarakat Aceh yang
memiliki budaya dan adat istiadat bernilai luhur tinggi, maka patut untuk
merenungkan hikayat tersebut dalam menjaring calon pemimpin Aceh ke depan, agar
masyarakat tidak salah pilih.
Oleh
karena itu, tahun ini akan menjadi thoen jampoek, yaitu tahun di mana orang
berlomba-lomba mencalonkan diri menjadi pemimpin Aceh ke depan. Bahkan di
antara mereka sangat percaya diri untuk maju sebagai calon pemimpin Aceh,
karena wajar dalam konteks demokrasi semua orang berhak memilih dan dipilih
atau mencalonkan dan dicalonkan. Namun kendali dan kontrol ada pada masyarakat.
Maka masyarakat harus berhati-hati pada thoen jampoek ini, jangan sampai
“disumpal” dengan informasi keliru dan janji-janji palsu.
Masyarakat
harus membedakan antara calon pemimpin berkarakter jampoek dengan pemimpin yang
berkarakter Buroeng keutoek-toek. Pemimpin berkarakter jampoek adalah mereka
yang mengedepankan kesombongan, menganggap hanya merekalah yang paling mampu
memperbaiki kondisi Aceh saat ini, sedangkan calon yang lain tidak mampu. Dan
mereka akan memuja-muja diri mereka sebagai orang/golongan yang paling layak
dan pantas untuk memimpin Aceh, sedangkan yang lain tidak pantas dan tidak
layak. Padahal hakikatnya mereka tidak memiliki keahlian dan kemampuan
leadership mumpuni untuk memimpin Aceh, mereka hanya mengandalkan ketampanan
fisik, kemegahan, kekuatan golongan dan partai, dan label awak droe teuh serta
janji-janji manis semata.
Sedangkan
pemimpin berkarakter Buroeng keutoek-toek adalah mereka yang tidak hanya
“menjual” penampilan dan ketampanan serta kekuatan golongan/partai semata,
mereka juga menawarkan visi dan misi yang jelas dan keahlian dan kemampuan
leadership mumpuni. Mereka tidak hanya pintar berjanji, akan tetapi juga
bertekad menepatinya. Mereka tidak hanya pintar ngomong, akan tetapi juga
pintar melaksanakan dan mempraktikkan omongan, tidak hanya sekadar janji tapi
bukti.
Masyarakat Cerdas
Maka masyarakat diharapkan cerdas menimbang-nimbang orang-orang yang saat ini
sudah menyatakan diri maju sebagai pemimpin Aceh pada Pilkada mendatang. Jangan
sampai masyarakat memilih pemimpin berkarakter jampoek, tanpa keahlian dan
leadership. Dalam posisi itu, masyarakat harus memiliki karakter cicem Keudidi,
yaitu bijak dalam menentukan pilihan dan memilih orang-orang yang ahli di
bidangnya. Jangan hanya tergiur oleh janji-janji manis yang tidak realistis dan
irrasional. Cicem Keudidi mencerminkan masyarakat yang cerdas dan bijak dalam
memilih pemimpin. Pemimpin dipilih berdasarkan kemampuan dan leadership yang
mumpuni.
Oleh
karena itu, peran para intelektual, LSM dan media sangat penting untuk
mencerdaskan masyarakat dengan memberikan informasi yang benar terhadap
calon-calon pemimpin Aceh ke depan. Sehingga masyarakat diharapkan mendapatkan
informasi yang jelas dan akurat tentang rekam jejak (track record) orang-orang
yang akan mereka pilih, agar masyarakat tidak terjebak pada ungkapan; katanya,
katanya dia mampu, katanya dia layak dan lain sebagainya. Jika masyarakat masih
memberikan jawaban “katanya dan katanya” dalam memilih pemimpin Aceh ke depan,
bukan mustahil yang akan terpilih adalah pemimpin berkarakter jampoek, sehingga
setelah terpilih mereka tidak mampu berbuat apa-apa untuk kemajuan Aceh.
Dengan
demikian, semua orang boleh mencalonkan diri sebagai pemimpin, namun tidak
semua orang layak diangkat sebagai pemimpin. Pemimpin tidak dilahirkan secara
instan, namun mereka terlahir dari sebuah proses yang sangat panjang. Mereka
ditempa, dibina, digembleng dan dilatih bertahun-tahun, sehingga memiliki
keahlian, integritas, dan kemampuan leadership yang mumpuni serta komunikatif
dalam menjalankan program-program yang dicanangkan. Menjadi
pemimpin juga bukan pekerjaan mudah dan gampang tetapi pekerjaan yang sangat
berat, tidak hanya dipertanggungjawabkan dihadapan manusia tetapi juga
dihadapan Allah Swt.
"Semoga pemimpin Aceh ke depan berkarakter Buroeng keutoek-toek, bukan berkarakter jampoek, dan masyarakat (pemilih) memiliki karakter Keudidi, bijak dan mampu memilih yang terbaik sesuai dengan bidangnya. Amiin!!"
*Adnan, S.Kom.I.,
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Email:
adnanyahya50@yahoo.co.id
Dikutip dari rubrik opini pada media Serambi Indonesia yang dirilis tanggal 13 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar