WAHAI alam, bersahabatlah
dengan kami, para manusia yang mendurhakaimu selamanya! Engkau kenal kami
melebihi diri kami sendiri. Sebagai hamba-Nya yang sok ta’at, kami telah
berbuih mulut berkoar agar hukum addin al-haq ditegakkan di muka bumi ini pada
umumnya. Dan khususan di negeri Aceh, Bangsa “Teuleubèh” yang kami kencingi dan
beraki tanah airnya setiap hari terang dan malam kelam.
Namun kami malas
menerapkannya. Bahkan di keluarga kami sendiri. Enggan menerima kebenaran yang
sememangnya benar yang tak tertolakkan sepertimana yang addin ajarkan. Yang
sedari beringusan kami tuntut. Di “balèë beüt”. Di bawah tunjuk-ajar “gurèë
rangkang”. Sambil menghapal dan merapal kata. Ya, kami terlalu dhaif
mengimplementasikannya di keseharian kami.
Pada suatu ketika, di
suatu senja duka, saat khabar burung mencuat. Entah rahmat atau petaka. Ke
“seurayuëng” perteduhan kami tiba. Langsung saja kami klaim sesatkan sesiapa
yang berlainan dengan kami. Tanpa mahu periksa. Langsung saja kami hakimi, “si
fulan sesat”. Beramai-ramai. Bermassal massa kami galang. Atas khutbah sang
penebar khabar. Yang berdiri tegap di atas mimbar kaki lima. Yang bermuka
tebal. Yang berjidat dihitam-hitamkan. Yang hentakan parau suaranya
bercirikhaskan “beryakni” itu mampu menghipnotis khalayak. Bahkan elit bermisai
lebat yang setiap pagi duduk bergelung di gedung merapat, masyuk membahas
perihal detail demi rakyat, pun terikat. Oleh dengung bujuk-rayu sang pembisik.
Sungguh picik.
Melebihi pengikut
“Abdullah Bin Ubay”, kami terima dengan lapang dada segala pemburukan siapa
pun. “Si fulan awak koëh puriëh, si Fulen cuw’ak!”, teriak kami, merasuk-rasuki
diri. Hingga ke setiap inci permasalahan tanpa pernah kami pertanyakan
kesahihan. Bangga mengunyah bangkai saudara kami yang dulu kami
sepakattuturkan, “sikrak gafan saboëh keurunda”.
Wahai hewan, yang kehausan
berkeliaran di padang tandus, mintalah siram hujan lebih untuk kami! Karena
kami spesies dengan kaummu juga. Meskipun malu, kami tetap mengaku, juga hewan.
Hanya mampu berbicara saja yang membedakan kami dengan kalian.
Wahai tumbuhan, yang masih
tersisa dari kami gundulkan, serapkanlah nikmat hujan yang Rabb kita turunkan!
Karena kami tak berupaya menghalangnya derasnya. Bahkan, seyakinnya kami akui,
kamilah sumber penyebab rahmat ini terhalang.
Wahai alam, please,
bersahabatlah dengan kami! Jangan kutuk kami lagi. Atas salah yang kami ulang!
Sebab kami juga hamba-Nya yang belum sempurna akal.
Batèë Raya, Juli, 2016.
Note;
- Teuleubèh = Terlebih/termulia
- Balèë beüt = Balai pengajian
- Gurèë rangkang = Guru pengajian/Teungku.
- Seurayuëng = Emperan.
- Beryakni = Lebai
- Abdullah bin Ubay = Tokoh Pembawa khabar dusta.
- Awak koëh puriëh = Pengkhianat
- Cuw’ak = mata-mata musuh.
- Sikrak gafan saboëh keurunda = ikrar mahu ditanam dalam sebungkus
kain kafan dan dalam sebuah keranda.
kain kafan dan dalam sebuah keranda.
--o0o--
Tulisan ini kami kutip dari media online AcehTrend yang ditulis oleh Arhas Peudada, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar