Senin, 18 April 2016

Kami Bukan Pengikut Abdullah Bin Ubay !


WAHAI alam, bersahabatlah dengan kami, para manusia yang mendurhakaimu selamanya! Engkau kenal kami melebihi diri kami sendiri. Sebagai hamba-Nya yang sok ta’at, kami telah berbuih mulut berkoar agar hukum addin al-haq ditegakkan di muka bumi ini pada umumnya. Dan khususan di negeri Aceh, Bangsa “Teuleubèh” yang kami kencingi dan beraki tanah airnya setiap hari terang dan malam kelam. 

Namun kami malas menerapkannya. Bahkan di keluarga kami sendiri. Enggan menerima kebenaran yang sememangnya benar yang tak tertolakkan sepertimana yang addin ajarkan. Yang sedari beringusan kami tuntut. Di “balèë beüt”. Di bawah tunjuk-ajar “gurèë rangkang”. Sambil menghapal dan merapal kata. Ya, kami terlalu dhaif mengimplementasikannya di keseharian kami.

Pada suatu ketika, di suatu senja duka, saat khabar burung mencuat. Entah rahmat atau petaka. Ke “seurayuëng” perteduhan kami tiba. Langsung saja kami klaim sesatkan sesiapa yang berlainan dengan kami. Tanpa mahu periksa. Langsung saja kami hakimi, “si fulan sesat”. Beramai-ramai. Bermassal massa kami galang. Atas khutbah sang penebar khabar. Yang berdiri tegap di atas mimbar kaki lima. Yang bermuka tebal. Yang berjidat dihitam-hitamkan. Yang hentakan parau suaranya bercirikhaskan “beryakni” itu mampu menghipnotis khalayak. Bahkan elit bermisai lebat yang setiap pagi duduk bergelung di gedung merapat, masyuk membahas perihal detail demi rakyat, pun terikat. Oleh dengung bujuk-rayu sang pembisik. Sungguh picik.

Melebihi pengikut “Abdullah Bin Ubay”, kami terima dengan lapang dada segala pemburukan siapa pun. “Si fulan awak koëh puriëh, si Fulen cuw’ak!”, teriak kami, merasuk-rasuki diri. Hingga ke setiap inci permasalahan tanpa pernah kami pertanyakan kesahihan. Bangga mengunyah bangkai saudara kami yang dulu kami sepakattuturkan, “sikrak gafan saboëh keurunda”.

Wahai hewan, yang kehausan berkeliaran di padang tandus, mintalah siram hujan lebih untuk kami! Karena kami spesies dengan kaummu juga. Meskipun malu, kami tetap mengaku, juga hewan. Hanya mampu berbicara saja yang membedakan kami dengan kalian.

Wahai tumbuhan, yang masih tersisa dari kami gundulkan, serapkanlah nikmat hujan yang Rabb kita turunkan! Karena kami tak berupaya menghalangnya derasnya. Bahkan, seyakinnya kami akui, kamilah sumber penyebab rahmat ini terhalang.

Wahai alam, please, bersahabatlah dengan kami! Jangan kutuk kami lagi. Atas salah yang kami ulang! Sebab kami juga hamba-Nya yang belum sempurna akal.

Batèë Raya, Juli, 2016.


Note;

- Teuleubèh = Terlebih/termulia
- Balèë beüt = Balai pengajian
- Gurèë rangkang = Guru pengajian/Teungku.
- Seurayuëng = Emperan.
- Beryakni = Lebai
- Abdullah bin Ubay = Tokoh Pembawa khabar dusta.
- Awak koëh puriëh = Pengkhianat
- Cuw’ak = mata-mata musuh.
- Sikrak gafan saboëh keurunda = ikrar mahu ditanam dalam sebungkus
  kain kafan dan dalam sebuah keranda.


--o0o--

Tulisan ini kami kutip dari media online AcehTrend yang ditulis oleh Arhas Peudada, semoga bermanfaat.

Kamis, 14 April 2016

Islam dan Problematika Lingkungan



ISLAM adalah agama yang ajarannya bersifat universal yang diperuntukkan kepada seluruh umat manusia. Sebetulnya kalau kita merujuk kepada kitab suci Alquran dan berbagai kitab suci lainnya, tampak jelas bahwa bencana alam dan krisis lingkungan telah lama disinyalir dalam Alquran, sebagaimana firman Allah Swt: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh karena perbuatan tangan manusia sehingga akibatnya Allah mencicipkan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka agar mereka kembali.” (QS. Ar-Rum: 41).

Ayat tersebut secara eksplisit menegaskan bahwa kerusakan disebabkan oleh ulah tangan manusia sendiri. Bencana yang datang silih berganti mengiringi kerusakan alam. Dalam Tafsir al-Misbah, Qurasih Shihab menjelaskan bahwa terjadinya kerusakan merupakan akibat dari dosa dan pelanggaran yang dilakukan oleh manusia sehingga mengakibatkan gangguan keseimbangan di darat dan di laut. Sebaliknya ketiadaan keseimbangan ini, megakibatkan siksaan kepada manusia. Semakin besar kerusakan terjadi terhadap lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya terhadap manusia.

Para penafsir klasik semisal Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir) dan al-Qurthubi (al-Jami’uliah Kamil Quran). Ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerusakan (fasad) adalah perbuatan syirik, pembunuhan, maksiat, dan segala pelanggaran terhadap larangan Allah Swt. Pandangan kedua mufassir ini berbeda dengan penafsiran Quraish Shihab, tidak melihat makna fasad sebagai kerusakan alam yang akan menimbulkan penderitaan bagi manusia.

Hal ini bisa dipahami karena pada zaman mereka alam masih asri dan tidak terjadi kerusakan alam yang parah seperti saat ini. Jika kedua ulama tersebut hidup di zaman sekarang, tentu mereka akan menafsirkan ayat tersebut senada dengan Quraish Shihab, orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar Doktor dalam bidang tafsir Alquran.

Bermakna lingkungan

Kata al-bi’ah terulang dalam Alquran sebanyak 15 kali, meskipun mempunyai arti lain seperti berulangkali, memancing, mengundang, dan berkonotasi “pulang kembali”. Kata al-bi’ah yang bermakna lingkungan terdapat dalam Alquran (QS. Ali Imram: 21; QS. Al-A’raf: 74); QS. Yunus: 93; QS. Yusuf: 56; QS. An-Nahl: 41; dan QS. Al-Ankabut: 58). Ayat-ayat tersebut dalam Alquran, berkonotasi pada lingkungan yang terbatas pada manusia.


Allah Swt menciptkan alam semesta ini untuk memenuhi kebutuhan manusia, sebagaimana firman-Nya: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Al-Jatsiyah: 13).

Ayat di atas menjadi landasan teologis pembenaran pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) untuk memenuhi kebutuhan manusia. Meskipun Islam tidak melarang memanfaatkan alam, Islam menetapkan rule of game-nya. Islam memerintahkan pemanfaatan alam dengan cara yang baik dan menjadi manusia yang bertanggung jawab dalam melindungi alam dan lingkungannya, serta larangan merusaknya.

Menurut Quraish Shihab, etika pengelolaan lingkungan dalam Islam mencari keselarasan dengan alam sehingga manusia tidak hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, tapi menjaga lingkungan dari kerusakan. Setiap kerusakan lingkungan harus dilihat sebagai perusakan terhadap diri sendiri. Pandangan ini berbeda dengan sebagian teknokrat yang memandang alam sebagai alat untuk mencapai tujuan konsumtif.

Tuntunan moral Islam dalam mengelola alam adalah larangan serakah dan menyia-nyiakannya. Allah Swt berfirman: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).
Larangan berlebihan dalam ayat diatas mencakup segala sesuatu, termasuk memanfaatka alam. Alam dimanfaatkan seperlunya saja. Karena itu, eksploitasi besar - besaran mengakibatkan rusaknya habitat alam. Islam memandang pemanfaatan alam tanpa secara membabi-buta merupakan suatu bentuk kezaliman dan akan merugikan manusia sendiri. Berlebih-lebihan dalam pemanfaatan alam dipanadang suatu perilaku mubazir dan dicela oleh Islam.

Menjaga Alam

Menurut Yusuf al-Qaradhawi, penamaan surat-surat dalam Alquran dengan mengambil nama hewan, seperti al-Baqarah (Sapi), al-An’am (Binatang ternak), al-‘Adiyat (Kuda), an-Nahl (Semut), dan al-‘Ankabut (Laba-laba); Nama tumbuh-tumbuhan seperti at-Tin (pohon Tin), dan pertambangan misalnya al-Hadid (Besi), atau nama alam lainnya seperti al-Fajri (waktu Fajar), adz-Dzariyat (Angin yang menerbangkan), dan asy-Syams (Matahari), dan sebagainya adalah isyarat agar manusia sadar bahwa dirinya terikat dengan alam sekitarnya. Sehingga manusia tidak lalai menjalankan kewajibannya menjaga kelestarian alam.


Betapa besarnya perhatian Islam terhadap alam, sebuah hadis meyatakan, “Barangsiapa memotong pohon bidara, niscaya Allah akan mencelupkan kepalanya ke dalam api neraka.” (HR. Abu Daud). Sebagian ulama fiqih memahami hadis ini sebagai larangan menebang pohon bidara di sekitar kota Mekkah dan Madinah. Tapi menurut Yusuf Qaradhawi, kalimat tersebut ditafsirkan sesuai dengan teks lahirnya yang mengandung makna umum. Sehingga dengan demikian akan diperoleh suatu kesimpulan, bahwa Islam melarang menebang pepohonan secara sia-sia.

Pentingya memelihara alam, tercermin dalam pidato Abu Bakar ra di depan angkatan perang kaum Muslimin saat akan berangakat untuk menggempur raja Ghassani yang telah memerintahkan pembunuhan atas utusan Nabi Muhammad saw di masa-masa akhir hidupnya. Abu Bakar dalam pidatonya melarang pembunuhan terhadap anak-anak dan orang tua, merusak dan membakar pohon kurma, dan menebang pohon-pohon yang berbuah.

Dalam beberapa Allah menyatakan bahwa seluruh langit dan bumi serta makhluk di dalamnya bertasbih memuji Allah Swt, seperti terungkap dalam Alquran (QS. An-Nur: 41; QS Al-Hadid: 1; QS. Shaad: 18). Manusia harus senantiasa menghormati alam kareana ia adalah makhluk Allahyang senantiasa bertasbih kepada-Nya.

Manusia harus mengiringi alam bertasbih memuji Allah Swt, antara lain memelihara kelestarian alam dan mengarahkannya ke arah yang lebih baik (islah), dan bukannya melakukan kerusakan di bumi (fasad fil ardl). Islam membolehkan pengelolaan bumi dan pemanfaatannya dengan tetap menjaga kelestarian dan keberlangsungannya.

Tulisan ini saya kutip dari rubrik opini pada media Serambi Indonesia tanggal 18 Maret 2016.
Ditulis oleh:
Zulfajri, SHI.,
Pengurus Lembaga Bantuan Hukum dan Advokat BKPRMI Banda Aceh.
Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh.
Email: fajriyusfa@gmail.com

Hikayat Jampoek; Sebuah Renungan untuk Pilkada


“Hai Teungku Ampon, nyoepat Si Gam lon neuboh keu Raja. Seubab Si Gam lon rupa that ceudah, lagi ngon gagah meubulee mata. Mata jih bulat babah meukuweit, cukop meusaheet Si Gam keu Raja.”


UNGKAPAN di atas merupakan cuplikan dari bait Hikayat Jampoek. Sebuah hikayat yang memiliki filosofi moral tinggi dan holistik (mendalam) bagi manusia dalam memilih pemimpin. Jampoek (burung hantu) menjadi pemeran antagonis dalam hikayat tersebut. Jampoek diidentikkan dengan kesombongan dan memuja diri. Sehingga kata jampoek ini sering menjadi ungkapan bagi masyarakat dalam menyindir manusia sombong dan suka pamer kelebihan, seperti; Bek lagee jampoek atau beuk peujampoek droe, bermaksud jangan sombong atau suka pamer.

Sikap sombong dan memuja diri (pujoe droe) jampoek tersirat dalam hikayat tersebut, ketika Nabi Sulaiman as bermusyawarah dengan seluruh burung (cicem) untuk menentukan raja mereka. Jampoek dengan sigap mengajukan anak laki-lakinya untuk menjadi raja, sambil memamerkan ketampanan fisik anaknya, yakni; rupa that ceudah, lagi ngon gagah meubule mata, mata bulat babah meukuweit (ganteng, gagah, memiliki bulu mata indah, mata bulat dengan paruh bengkok ke bawah/menarik).

Namun demikian, seluruh burung yang lain menolak tawaran jampoek untuk menjadikan anaknya sebagai raja, karena hanya “menjual” ketampanan fisik, bukan keahlian, kompetensi, integritas, kemampuan memimpin (leadership) dan komunikatif. Di antara yang menolak dengan tegas adalah Beurujuk balee dan Tok-tok beuraghoe. Keduanya protes; Teuma ji seuot Beurujuk balee, han kutem dikee jampouk keu raja. Hana meusoe-soe ka tajak lakee, golom meuteuntee tajak peutaba. Lheuh nyan ji seuot Tok-tok beuragoe, hana meusoe-soe taboh keu raja. Seudangkan dilon kupiah beusoe, hantom siuroe lakee keu raja.

Di samping itu, muncul Buroeng keutoek-toek mengajukan diri untuk di angkat sebagai raja, karena dia menganggap dirinya memiliki keahlian untuk memimpin, yaitu keahlian bernyanyi di malam hari (peeh geundrang). Berbeda dengan jampoek yang hanya “menjual” ketampanan fisik, Buroeng keutoek-toek “menjual” keahlian. Sehingga Buroeng keutoek-toek mendapatkan dukungan dari beberapa burung yang lain seperti Eunggang (Bangau).

Perdebatan Burung
Perdebatan para burung tersebut membuat Nabi Sulaiman as tersenyum bahagia. Namun tiba-tiba cicem Keudidi dengan bijak mendamaikan perdebatan para burung tersebut dengan memberikan jabatan/pimpinan sesuai dengan keahlian mereka, bukan hanya karena ketampanan fisik.

"Teuma jidamee uleh Keudidi, si Rajawali tabouh keu raja. Cicem Dama peudana meuntri, beurujuk Campli keupala teuntra. Lheuk bangguna taboh keu meuntri, keupala negeri nyoe cicem Dama. Kleung puteh ulee keupala peulisi, si Mirapati jeut keu wedana. Keu peuneurangan po cicem Tiong, nyang mat hukom po cicem Pala. Tok-tok beuragoe keu geuchiek gampong, cicem Keucuboung keu ureung ronda. Cicem bubruk keuma bidan, seubab digobnyan geukuwa-kuwa, dum cicem laen duk keu rakyat."


Itulah cuplikan pemilihan raja cicem yang diselenggarakan oleh Nabi Sulaiman as bersama seluruh burung ketika itu yang dinukil dalam Hikayat Jampoek. Hikayat tersebut sangat cocok dipublikasi kembali dalam konteks Aceh yang sedang marak dengan isu suksesi kepemimpinan atau Pilkada 2017. Sebagai masyarakat Aceh yang memiliki budaya dan adat istiadat bernilai luhur tinggi, maka patut untuk merenungkan hikayat tersebut dalam menjaring calon pemimpin Aceh ke depan, agar masyarakat tidak salah pilih.

Oleh karena itu, tahun ini akan menjadi thoen jampoek, yaitu tahun di mana orang berlomba-lomba mencalonkan diri menjadi pemimpin Aceh ke depan. Bahkan di antara mereka sangat percaya diri untuk maju sebagai calon pemimpin Aceh, karena wajar dalam konteks demokrasi semua orang berhak memilih dan dipilih atau mencalonkan dan dicalonkan. Namun kendali dan kontrol ada pada masyarakat. Maka masyarakat harus berhati-hati pada thoen jampoek ini, jangan sampai “disumpal” dengan informasi keliru dan janji-janji palsu.

Masyarakat harus membedakan antara calon pemimpin berkarakter jampoek dengan pemimpin yang berkarakter Buroeng keutoek-toek. Pemimpin berkarakter jampoek adalah mereka yang mengedepankan kesombongan, menganggap hanya merekalah yang paling mampu memperbaiki kondisi Aceh saat ini, sedangkan calon yang lain tidak mampu. Dan mereka akan memuja-muja diri mereka sebagai orang/golongan yang paling layak dan pantas untuk memimpin Aceh, sedangkan yang lain tidak pantas dan tidak layak. Padahal hakikatnya mereka tidak memiliki keahlian dan kemampuan leadership mumpuni untuk memimpin Aceh, mereka hanya mengandalkan ketampanan fisik, kemegahan, kekuatan golongan dan partai, dan label awak droe teuh serta janji-janji manis semata.

Sedangkan pemimpin berkarakter Buroeng keutoek-toek adalah mereka yang tidak hanya “menjual” penampilan dan ketampanan serta kekuatan golongan/partai semata, mereka juga menawarkan visi dan misi yang jelas dan keahlian dan kemampuan leadership mumpuni. Mereka tidak hanya pintar berjanji, akan tetapi juga bertekad menepatinya. Mereka tidak hanya pintar ngomong, akan tetapi juga pintar melaksanakan dan mempraktikkan omongan, tidak hanya sekadar janji tapi bukti.


Masyarakat Cerdas
Maka masyarakat diharapkan cerdas menimbang-nimbang orang-orang yang saat ini sudah menyatakan diri maju sebagai pemimpin Aceh pada Pilkada mendatang. Jangan sampai masyarakat memilih pemimpin berkarakter jampoek, tanpa keahlian dan leadership. Dalam posisi itu, masyarakat harus memiliki karakter cicem Keudidi, yaitu bijak dalam menentukan pilihan dan memilih orang-orang yang ahli di bidangnya. Jangan hanya tergiur oleh janji-janji manis yang tidak realistis dan irrasional. Cicem Keudidi mencerminkan masyarakat yang cerdas dan bijak dalam memilih pemimpin. Pemimpin dipilih berdasarkan kemampuan dan leadership yang mumpuni.

Oleh karena itu, peran para intelektual, LSM dan media sangat penting untuk mencerdaskan masyarakat dengan memberikan informasi yang benar terhadap calon-calon pemimpin Aceh ke depan. Sehingga masyarakat diharapkan mendapatkan informasi yang jelas dan akurat tentang rekam jejak (track record) orang-orang yang akan mereka pilih, agar masyarakat tidak terjebak pada ungkapan; katanya, katanya dia mampu, katanya dia layak dan lain sebagainya. Jika masyarakat masih memberikan jawaban “katanya dan katanya” dalam memilih pemimpin Aceh ke depan, bukan mustahil yang akan terpilih adalah pemimpin berkarakter jampoek, sehingga setelah terpilih mereka tidak mampu berbuat apa-apa untuk kemajuan Aceh.

Dengan demikian, semua orang boleh mencalonkan diri sebagai pemimpin, namun tidak semua orang layak diangkat sebagai pemimpin. Pemimpin tidak dilahirkan secara instan, namun mereka terlahir dari sebuah proses yang sangat panjang. Mereka ditempa, dibina, digembleng dan dilatih bertahun-tahun, sehingga memiliki keahlian, integritas, dan kemampuan leadership yang mumpuni serta komunikatif dalam menjalankan program-program yang dicanangkan. Menjadi pemimpin juga bukan pekerjaan mudah dan gampang tetapi pekerjaan yang sangat berat, tidak hanya dipertanggungjawabkan dihadapan manusia tetapi juga dihadapan Allah Swt.

"Semoga pemimpin Aceh ke depan berkarakter Buroeng keutoek-toek, bukan berkarakter jampoek, dan masyarakat (pemilih) memiliki karakter Keudidi, bijak dan mampu memilih yang terbaik sesuai dengan bidangnya. Amiin!!"


*Adnan, S.Kom.I.,
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Email: adnanyahya50@yahoo.co.id

Dikutip dari rubrik opini pada media Serambi Indonesia yang dirilis tanggal 13 April 2016

Rabu, 13 April 2016

Fenomena Bergek dan Kematian Seni Pertunjukan



Kelahiran penyanyi baru yang kini digandrungi publik, Bergek alias Zuhdi cukup fenomenal di dunia seni Aceh. Banyak publik memutar lagunya seperti Boeh Hate, Suet Bajee Jih Bloe, 360, Aneuk Dadu, dll dan menghapal liriknya. Kedai kopi, radio publik, kenderaan umum, dan telpon genggam terus memutar musiknya.

Orang bisa saja mengkritik Bergek tidak orisinal. Namun, dalam dunia seni pop apa yang patut dikatakan orisinal? Kritik karena ia menyadur lagu-lagu India? Dimana salahnya? Hampir semua penyanyi pop Aceh menyadur lagu-lagu dari film India yang digandrungi publik, tapi tak ada yang sepopular Bergek.

Dalam karya pop, pasti terjadi kemiripan dan inspirasi atas karya-karya yang lebih dulu nge-pop, mainstream, dan kanonik. Lihat saja Koes Plus yang dianggap “meniru” The Beatles, God Bless “menjiplak” Genesis, Power Metal mirip dengan Helloween dan Judas Priest. Bahkan musisi paling sukses dekade 90-an hingga 2000-an, Ahmad Dhani, tak kurang kontroversi karena pernah “memplagiasi” karya musisi asing seperti Portishead dan Muse.

Belum lagi penyanyi-penyanyi baru yang sedang mencari panggung dan karakter, pasti juga terpaksa lebih dulu berkiblat kepada musisi senior yang telah punya pasar. Mereka bukan pembebek sempurna. Dengan proses belajar terus-menerus, mencari hal-hal detil, dan meramunya secara total menjadikan mereka patron baru di dunia musik Indonesia bahkan internasional.

Ikon Baru
Demikian pula Bergek. Tepikan dulu kontroversi subjektif kepadanya. Nyatanya ia ikon baru di dunia musik Aceh yang sedang lesu darah. Yang dilakukan Bergek bahkan tidak bisa dikatakan plagiator. Ia memiliki talenta untuk memberikan komposisi, ornamensi, dan organologi dalam bermusik. Karakter musikalitasnya juga khas.

Keunikan itulah yang menyebabkan Bergek menjadi disukai publik. CDnya laris manis (kita sudah meninggalkan dunia kaset di industri musik). MP3, 3GP, MP4, FLV-nya diunduh ribuan banyaknya, termasuk oleh peminat di luar Aceh. Lagu Dikit-dikit dan Aneuk Dadu yang dinyanyikannya lebih berkarakter, menghibur, dan jenaka dibandingkan versi aslinya. Satu hal, Bergek terampil mencampur-sarikan Bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia di dalam lirik-lirik lagunya. Itu orisinil dia.

Dalam kajian budaya, yang dilakukan Bergek disebut mimicry: sebuah upaya peniruan tapi tidak persis sama. Ia tidak tumplek-plek seperti dosen yang memplagiasi karya koleganya tanpa berkeringat dan menggunakan teknik copy and paste. Tujuannya juga rendahan: demi urusan naik pangkat atawa cum.

Menurut Jacques Lacan, filsuf dekonstruksionis Perancis, mimicry ala Bergek terjadi karena alas permadani berkarya masih diselubungi oleh watak kolonialitas dan modernitas (kuno). Dalam produksi karya, seni pop sesungguhnya hadir dari meniru, terpesona, dan termotivasi atas sesuatu yang sebelumnya ada untuk kemudian diperbaharui.

Transisi dari dunia seni tradisi ke modern menyebabkan gangguan itu terjadi. Tradisi lama belum jauh ditinggalkan sedangkan di seberang sana modernitas masih ragu-ragu dijamah. Dalam bahasa Homi K. Bhaba, Bergek sedang berupaya meraih pengakuan atas karyanya – yang lepas dari bayang-bayang penyanyi Bollywood atau siapa pun - karena ia memang berbeda. Kalaupun dia mau disamakan, ia tidak sungguh persis (the desire for a reformed, recognizable Other, as a subject of a difference that is almost the same, but not quite, Homi K. Bhaba, The Location of Culture, 1994 : 86).

Demikianlah, fenomena Bergek ini telah menjadi dunia pop baru di Aceh sekaligus merebut industri musik lokal. Kita boleh saja mengamini yang dikatakan oleh Gianni Vattimo – bahwa fenomena popisme ini tak lain wujud kematian atau kemunduran seni (the death or decline of art) karena selera yang tercurah hanya untuk mencerap indera massal atau kerumunan, yang mungkin berbeda dengan selera kritikus, musisi, atau etnomusikolog.

Namun lagi-lagi, siapa peduli? Di tengah kesumpekan politik dan impitan ekonomi, kehadiran Bergek menjadi setitik kegembiraan. Mungkin kegembiraan itu pun tidak bertahan lama, hanya lima belas menit atau satu jam, dan setelah itu pulang ke rumah. Sosok Bergek mungkin bertahun-tahun sejak sekarang akan dilupakan karena muncul sosok-sosok baru dengan imajinasi dan artistika baru.

Sebagian orang setelah menonton Bergek bisa jadi membawa kesegaran jiwa dari pengalaman menikmati musik pertunjukan itu. Kita tak tahu akan berdampak positif seperti apa. Itu pula kenapa di setiap pertunjukan Bergek, tumpah-ruah publik yang menonton. Sebagian datang bersama anak-istri menyaksikan “anak ajaib” ini.

“Agama” vs Seni
Agak aneh akhirnya jika seni pertunjukan Bergek dihalau dengan cara-cara purba dan kolonial: melarang pementasannya secara sepihak seperti di Aceh Barat (Serambi, 31 Maret) dan Lhokseumawe (Serambi, 8 April) dengan argumentasi melanggar Syariat Islam.

Problem ini akhirnya bukan semata sukses mematikan Bergek, tapi bisa merembet kepada dimensi kepurbaan lain lagi, yaitu melarang semua pementasan kesenian dan hanya membolehkan yang sesuai dengan cita-rasa feodal. Padahal, dalam kacamata industri, pelarangan ini bisa juga terlihat ingin mematikan industri musik sekitar Bergek, karena dampaknya mulai mengancam “industri penguasa”. Jadi semacam pertarungan politik ekonomi rakyat versus penguasa.

Pembenturan agama versus kesenian dengan cara-cara politis seperti ini, bukan saja bernasib buruk pada kesenian – terutama seni pertunjukan – tapi juga kepada wajah agama Islam. Agama diseret kepada pemahaman yang pejoratif, sempit dan rendahan, yang muaranya bisa distortif melihat seni. Seni bisa saja dituduh lubang kejahatan dan akan menjahati masyarakat. Pemberitaan tentang kasus Bergek ini di media luar telah memberikan citra buruk kepada pemerintah di Aceh yang seharusnya memilih cara-cara responsif. Pemberitaan di luar telah melebar, seperti menggali ideologi “politik Taliban atau Wahabiyah” di Aceh yang ditunjukkan dari rekaman pemerintah Kota Banda Aceh yang melarang perayaan tahun baru (The Jakarta Post, 6 April).

Padahal, Aceh baru saja merintis pendidikan dan aktualisasi seni melalui pendirian Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh yang diidamkan oleh pemangku kepentingan di Aceh selama puluhan tahun. Tujuan hadirnya ISBI pun bukan sekedar merevitalisasi kesenian tradisi tapi juga melakukan perjumpaan secara sehat dan cerdas dengan seni modern, termasuk seni avant-garde atau seni posmo. Siapa tahu energi pengetahuan seni itu akan membuat Aceh lebih beradab, cerdas otak kanannya, dan halus timbangan estetisnya.


Sudah saatnya kita memilih cara-cara berkelas menyelesaikan problem kesenian dan kebudayaan. Cara yang paling baik adalah dialog dan mencari konsensus secara demokratis. Tidak perlu mengambil cara-cara arogan dan represif. Bergek Phobia adalah hantu yang terlalu dibuat-buat. Yang perlu ditakutkan adalah merebaknya terorisme, narkoba, pedofilia, penghancuran ekologi, korupsi, dan politik tanpa nurani.

--o0o--

Ini merupakan tulisan Teuku Kemal Fasya yang di posting pada akun facebook nya dan pernah dimuat di media Serambi Indonesia, 11 April 2016. Semoga bermanfaat dan membuka cakrawala berpikir kita serta menambah wawasan tentang seni dan kehidupannya di Tanah Seuramoe Mekkah ini.

Teuku Kemal Fasya, dosen ISBI Aceh.


Budidaya Tanaman Lada


Indonesia merupakan Negara yang kaya akan rempah-rempahnya, tidak terkecuali di Aceh, sejak zaman penjajahan negeri kita ini sudah terkenal akan keaneka ragaman rempahnya. Diantaranya pala, cengkeh dan yang utama adalah lada atau merica, rempah yang satu ini sering dijadikan bumbu hampir disemua jenis masakan Indonesia.

Lada mempunya beberapa jenis seperti lada hitam, lada hijau dan lada putih, khusus lada hitam akhir-akhir ini sangat digandrungi oleh petani karena harganya yang sangat mahal.

Hasil yang diperoleh dari budidaya lada ini sangat banyak, hal ini menjadikan lada banyak dibudidayakan di Indonesia. Akan tetapi sebelum membudidayakan lada kita wajib mengetahui tentang karakteristik si lada ini.

Syarat dan Tempat Tumbuh Lada harus meliputi hal-hal berikut ini:
  • Memiliki curah hujan antara 2000-3000mm per tahun, dan ini sangat cocok di Indonesia.
  • Memiliki suhu udara antara 20-34 ̊C
  • Membutuhkan banyak sinar matahari, setidaknya 10jam setiap hari.
  • Ketinggian tempat antara 300-1.100 meter dpl.
  • Tingkat keasaman tanah (ph) antara 5,5-7.
Cara Menanam Lada:
  • Media Tanam
Media yang cocok untuk budidaya lada ini adalah tanah yang subur, gembur dan kaya akan kandungan hara, serta tanah tidak boleh terlalu basah dan terlalu kering.

  • Pemilihan Bibit
Bibit diambil dari indukan yang sehat, hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil yang didapatkan nantinya. Selain itu syarat tanaman induk ialah harus berumur setidaknya 10 bulan- 3tahun.

  • Pengolahan tanah
Tanah sebaiknya digemburkan dengan cara mencangkul sedalam 20-35cm, kemudian campurkan kapur pertaanian (dolomit) untuk mengatur tingkat keasaman (ph) tanah, kemudian diamkan selama 3-4 minggu baru ditanami.

  • Penanaman
Bibit lada ditanam dengan jarak 2×2 meter,dan kedalaman lubang tanam 50cm. penanaman paling cocok dilakukan pada musim penghujan atau menjelang musim penghujan.

  • Perawatan dan Pemeliharaan
Perawatan tanaman lada meliputi pengikatan sulur, penyiangan, pemupukan dan pengairan secara rutin.selain itu juga harus dilakukan perempelan dan pemberian mulsa. Pengendalian hama dan penyakit tanaman juga harus diperhatikan.


Tanaman lada bisa dipanen setelah berusia 3 tahun.

Sumber sebelum sedikit edit sana-sini:

AL-FITNAH




referensi ini saya kutip dari akun facebook mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang diposting pada tanggal 12 April 2016. Semoga bermanfaat.


Fitnah itu termasuk kedalam kategori "menimbulkan kerusakan di bumi" yang menurut Al-Qur'an dapat dihukum mati, sama seperti murtad dan membunuh orang. Tentu yang dimaksudkan disini bukanlah yang sekaliber dengan gossip bisik-bisik para tetangga. Itu mah kecil walau tetap dosa besar. Ada banyak fitnah yang dapat menyebabkan kerusakan/pertentangan di muka bumi.


Fitnah itu ibarat menabur kapas kedalam angin. Kapasnya beterbangan kemana-mana. Tak mungkin lagi memungut semua kapas itu.
Maka, jagalah mulut dan tangan kita masing2.

Selasa, 12 April 2016

Hukum Memakai Cincin dan Tempat Memakainya


Sob, pernah melihat orang yang memakai cincin di jari telunjuk atau jari tengah? Bagaimana hukumnya melakukan hal itu? Rasulullah pun memakai cincin, Sob. Pengen tau di jari mana Rasulullah memakai cincinnya?

Disebutkan dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang padaku memakai cincin pada jari ini atau jari ini.” Ia berisyarat pada jari tengah dan jari setelahnya. (HR. Muslim no. 2095).

Imam Nawawi menyebutkan dalam riwayat lain selain Muslim disebutkan bahwa yang dimaksud adalah jari telunjuk dan jari tengah.

Imam Nawawi menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan larangan memakai cincin di jari telunjuk dan jari tengah bagi laki-laki adalah makruh tanzih (bermakna: makruh, bukan haram). Lihat Syarh Shahih Muslim, 14: 65.

Imam Nawawi menyatakan bahwa para ulama sepakat bolehnya memakai cincin di jari tangan kanan atau pun di jari tangan kiri. Tidak ada disebut makruh di salah satu dari kedua tangan tersebut. Para ulama cuma berselisih pendapat saja manakah di antara keduanya yang afdhal. 

Kebanyakan salaf memakainya di jari tangan kanan, kebanyakannya lagi di jari tangan kiri. Imam Malik sendiri menganjurkan memakai di jari tangan kiri, beliau memakruhkan tangan kanan. Sedangkan ulama Syafi’iyah yang shahih, jari tangan kanan lebih afdhal karena tujuannya adalah untuk berhias diri. Tangan kanan ketika itu lebih mulia dan lebih tepat untuk berhias diri dan juga sebagai bentuk pemuliaan. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 14: 66). 


Rasulullah SAW sendiri memakai cincin di tangan kiri pada jari kelingking.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengenakan cincin di sini.” Anas berisyarat pada jari kelingking di tangan sebelah kiri. (HR. Muslim no. 2095).

Seperti apa cincin Rasulullah?

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, "Cincin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbuat dari perak, dan mata cincinnya berasal dari Habasyah (ethiopia)." (HR. Muslim 2094, Turmudzi 1739, dan yang lainnya).

So, Sob, sesuai yang dianjurkan Rasulullah, jari tangan yang terbaik untuk memakai cincin bagi laki-laki adalah pada jari kelingking di tangan kiri. Hukumnya makruh bila memakai cincin di jari tengah dan jari telunjuk. Boleh saja bila ingin memakai di jari manis.

Buat sobat perempuan yang sholehah boleh saja memakai cincin di jari mana saja.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa yang sesuai sunnah, cincin pria diletakkan di jari kelingking. Sedangkan untuk wanita, cincin tersebut diletakkan di jari mana saja.” (Syarh Shahih Muslim, 14: 65).


Pakai cincin nggak cuma buat gaya-gaya'an atau menunjukkan identitas aja, Sob. Tetapi, bisa mengikuti apa yang Rasulullah lakukan.


Allahu a'lam.

Sumber:

"SEMESTA CAHAYA"


Sinopsis:
--o0o--

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”


Tak terkira lagi isakan tangisan yang pecah dan air mata yang tumpah ketika bibirku terbata-bata mengulang ayat-ayat terakhir tersebut. Kuulangi lagi, kuulangi terus hingga dadaku sesak dibuatnya. Ternyata tidak butuh waktu lama, Allah menjawab segala do'a yang bermuara pada-Nya, termasuk do'a seorang hamba yang hina sepertiku.

Maka benarlah jika shalat dan do'a adalah tumpahan kata-kata berbalut sesal dan resah kita pada Allah, maka Alquran adalah kata-kata dan jawaban Allah untuk setiap do'a kita.

Setelah hari itu segalanya berubah, bukan karena negara api menyerang. Melainkan karena hidayah yang diawali mimpi yang kudapatkan beberapa waktu yang lalu. Mimpi tentang semesta antah berantah yang menjadi titik balik bagi hidupku.

Aku memutuskan untuk berhijrah dari segala segi. Hijrah keyakinan agar sepenuhnya tertambat pada-Nya, hijrah pemikiran, hijrah dari kesenangan dunia yang melalaikan, dan hijrah dari tingkah laku dan kepribadian.
Bukankah hijrah adalah bukti cinta? Meninggalkan apa apa yang Allah benci menuju apa yang Allah cintai.

--o0o--

Semoga bermanfaat 😊

Aceh 2025



"Kitalah sekalian pelajar dan mahasiswa, penggerak semua keadilan untuk zaman kini dan zaman hadapan. Dengan izin Allah Ta'ala, di tangan kitalah nasib jutaan orang Aceh pada zaman ini dan zaman hadapan. Kita hidup demi bangsa, kita membela dan memperjuangkan akan perbaikan nasib jutaan orang."

#Aceh2025_1446H

#SebuahNovel

#ThayebLohAngen

Pengertian Fisioterapi


APAKAH ITU FISIOTERAPI?

Menurut KEPMENKES 1363Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang  ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi, komunikasi.

Fisioterapis secara khusus memandang tubuh dan kebutuhan potensi gerak merupakan pusat penentuan diagnosis dan strategi intervensi dan konsiten dengan bentuk apapun dimana praktek fisioterapi dilakukan.
Bentuk pelayanan Fisioterapi akan sangat bervariasi dalam hubungannya dengan dimana Fisioterapi bekerja maupun berkenaan dengan promosi, pencegahan, penyembuhan dan pemulihan kesehatan

APAKAH YANG DIKERJAKAN FISIOTERAPI?

Fisioterapi mengenali dan memaksimalkan potensi gerak yang berhubungan dengan lingkup promosi, prevensi, penyembuhan dan pemulihan.
Fisioterapi ikut dalam interaksi antara Fisioterapis, pasien atau klien, keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan dalam proses pemeriksaan potensi gerak dalam upaya penegakan goal dan tujuan pengobatan yang disepakati dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan Fisioterapi yang unik
Di sebutkan dalam KEPMENKES 1363 Pasal 12
Fisioterapis dalam melaksanakan praktik fisioterapi berwenang untuk melakukan ;
a.         Asesmen fisioterapi yang meliputi pemeriksaan dan evaluasi
b.         Diagnosa fisioterapi
c.         Perencanaan fisioterapi
d.         Intervensi fisioterapi
e.         Evaluasi/re-evaluasi/re-asesmen.

Asesmen
Asesmen termasuk pemeriksaan dan evaluasi pada perorangan atau kelompok, nyata atau yang berpotensi untuk terjadi kelemahan, keterbatasan fungsi, ketidakmampuan atau kondisi kesehatan lain dengan cara pengambilan perjalanan penyakit (history taking), skreening, test khusus, pengukuran dan evaluasi dari hasil pemeriksaan melalui analisis dan sintesa dalam sebuah proses pertimbangan klinis.
Pemeriksaan terhadap individu atau kelompok dengan mengambil, gangguan aktual atau potensial, keterbatasan fungsional, cacat, atau kondisi lain kesehatan oleh :
·         History Taking
·         Screening (penyaringan)
·         Penggunaan Test Khusus
·         Tindakan
Evaluasi hasil pemeriksaan melalui analisis dan sintesis dalam proses penalaran klinis.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan dan evaluasi dan menyatakan hasil dari proses pertimbangan/pemikiran klinis, dapat berupa pernyataan keadaan disfungsi gerak, dapat meliputi/mencakup kategori kelemahan, limitasi fungsi, kemampuan atau ketidakmampuan.
Menunjukkan / mengekpresikan adanya disfungsi gerak dan dapat mencangkup
–        Gangguan / kelemahan (impairment),
–        Limitasi Fungsi (functional limitations),
–        Ketidakmampuan (disabilities ),
–        Sindroma ( syndromes ).

Perencanaan
Perencanaan dimulai dengan pertimbangan kebutuhan intervensi dan biasanya menuntun kepada pengembangan rencana intervensi, termasuk hasil sesuai dengan tujuan yang terukur yang disetujui pasien/klien, famili atau pelayan kesehatan lainnya. Dapat menjadi pemikiran perencanaan alternatif untuk dirujuk kepada pihak lain bila dipandang kasusnya tidak tepat untuk fisioterapi.

Intervensi
Intervensi di-implementasikan dan dimodifikasikan untuk mencapai tujuan yang disepakati dan dapat termasuk penanganan secara manual; peningkatan gerakan; peralatan fisis, peralatan elektroterapuetis dan peralatan mekanis; pelatihan fungsional; penentuan bantuan dan peralatan bantu; instruksi dan konseling; dokumentasi dan koordinasi, komunikasi.
Intervensi dapat juga ditujukan pada pencegahan ketidak-normalan (kelemahan), keterbatasan fungsi, ketidakmampuan dan cidera, termasuk juga peningkatan dan pemeliharaan kesehatan , kualitas hidup, kebugaran segala umur dan segala lapisan masyarakat.
Perencanaan Prosedur dari intervensi harus mengacu kepada :
•         Hasil assesment ( pemeriksaan dan evaluasi ), serta diagnosa.
•         Prognosis yang berhubungan peningkatan kondisi
•         Rencana asuhan Fisioterapi, misalnya intensitas, frekwensi, durasi, urutan dll.
•         Selain itu dipertimbangkan komplesitas dan berat-ringannya kondisi klinis
•         mempertimbangkan kemampuan pasien/klien
•         Harapan pasien/klien, famili

Dalam melakukan intervensi sendiri, fisioterapi harus melakukan :
•         Koordinasi, Komunikasi, dan Dokumentasi
•         Pasien / clien harus melakukan yang diinstruksikan oleh fisioterapi
•         Prosedur Intervensi
Fisioterapi terlibat dalam program-program skreening dan pencegahan, pendidikan kesehatan maupun penelitian. Fisioterapis dapat menjadi konsultan pada lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan dan sosial yang berkenaan dengan perawatan kesehatan.
Secara luas, tindakan fisioterapis adalah tanggung jawab fisioterapis secara individu, yang disertai oleh keputusan profesi mereka yang tidak dapat dikontrol atau dikompromikan oleh pegawai, orang dari profesi lain atau lainnya.
Sebagai pembatasan otonomi profesi yang benar, profesi fisioterapi mempunyai tanggung jawab yang berkesinambungan untuk  mengaturan diri (self regulating)


STANDAR PENDIDIKAN FISIOTERAPI
Pendidikan untuk menjadi fisioterapis dipusatkan pada universitas atau studi lain setingkat universitas, minimum 4 tahun independen dan diakreditasi sebagai standar sarjana penuh secara hukum dan diakui profesinya.

STANDAR PRAKTEK FISIOTERAPI
A.   Pernyataan misi, maksud dan tujuan
B.    Perencanaan pengorganisasian
C.   Kebijakan prosedur
D.  Administrasi
E.    Pengelolaan Anggaran
F.    Peningkatan kuantitas asuhan
G.  Ketenagaan
H.  Pengembangan Staf
I.       Penataan sarana dan prasarana
J.      Kolaborasi multidispilner

Standar Asesmen yaitu pemeriksaan pada perorangan atau kelompok, nyata atau yang berpotensi untuk terjadi kelemahan, keterbatasan fungsi, ketidakmampuan atau kondisi kesehatan lain dengan cara pengambilan perjalanan penyakit (history taking), skreening, test khusus, pengukuran dan evaluasi dari hasil pemeriksaan melalui analisis dan sintesa dalam sebuah proses pertimbangan klinis. Dalam standar Asesmen ditetapkan pula 24 pengukuran yang dilakukan untuk proses pengumpulan data.
Standar Diagnosa berupa label mengambarkan keadaan multi dimensi pasien yang dihasilkan dari pemeriksan dan evaluasi dan merupakan hasil dari alasan-alasan klinis yang dapat menunjukkan adanya  disfungsi gerak dan dapat mencangkup gangguan/kelemahan(impairment), Limitasi Fungsi (functional limitations), Ketidakmampuan (disabilities ),Sindroma ( syndromes), Mulai dari sistem sel, dan biasanya pada level sistem gerak dan fungsi.
Standar Perencanaan dimulai dengan pertimbangan kebutuhan intervensi dan biasanya menuntun kepada pengembangan rencana intervensi, termasuk hasil sesuai dengan tujuan yang terukur yang disetujui pasien/klien, famili atau pelayan kesehatan lainnya. Dapat menjadi pemikiran perencanaan alternatif untuk dirujuk kepada pihak lain bila dipandang kasusnya tidak tepat untuk fisioterapi.
Standar Intervensi yaitu Intervensi di-implementasikan dan dimodifikasikan untuk mencapai tujuan yang disepakati dan dapat termasuk penanganan secara manual; peningkatan gerakan; peralatan fisis, peralatan elektroterapuetis dan peralatan mekanis; pelatihan fungsional; penentuan bantuan dan peralatan bantu; instruksi dan konseling; dokumentasi dan koordinasi, komunikasi.
Standar evaluasi yaitu keharusan untuk evaluasi kembali meliputi hasil dan kriteri penghentian tindakan.
Standar Dokumentasi, Kordinasi dan komunikasi yaitu sistem administrasi yang menjamin pasien/klien menerima kualitas pelayanan yang tepat, komprehensif, efisien dan efektif mulai dari kedatangan sampai selesai. Koordinasi adalah kerja sama semua bagian yang tersangkut dengan pasien/klien Komunikasi adalah adanya pertukaran informasi baik dengan pasien/klien maupun sesama pemberi pelayanan. Dokumentasi adalah pencatatan yang dibuat selama pasien/klien mendapat asuhan Fisioterapi. 
Pendidikan pasien adalah proses pemberian informasi, pendidikan, atau pelatihan kepada pasien/klien/famili. Instruksi berkaitan dengan kondisi saat ini, rencana asuhan, pentingnya asuhan, transisi perubahan, Faktor resiko, dll. Fisioterapis bertanggung jawab atas instruksi-instruksi.

KODE ETIK FISIOTERAPI
Garis Besar Kode Etik Fisioterapi Indonesia adalah :
1.   Menghargai hak dan martabat individu.
2. Tidak bersikap diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada siapapun yang membutuhkan.
3.  Memberikan pelayanan profesional secara jujur, berkompeten dan bertanggung jawab.
4. Mengakui batasan dan kewenangan profesi dan hanya memberikan pelayanan dalam lingkup profesi fisioterapi.
5. Menjaga rahasia pasien/klien yang dipercayakan kepadanya kecuali untuk kepentingan hukum/pengadilan.
6. Selalu memelihara standar kompetensi profesi fisioterapi dan selalu  meningkatkan pengetahuan/ketrampilan.

7.   Memberikan kontribusi dalam perencanan dan pengembangan pelayanan untuk meningkatkan derajat kesehatan individu dan masyarakat.

Sumber: